Monday, May 30, 2011

Language


materi sosiolinguistik: rangkuman semua materi


Pertemuan 1 : Pendahuluan
Bahasa merupakan alat komunikasi dan alat interaksi yang Alloh ta’ala karuniakan khusus untuk makhluk-Nya yang paling sempurna, yaitu manusia. Bahasa dapat dikaji secara internal maupun eksternal. Kajian internal bahasa meliputi kajian struktur diantaranya struktur fonologis, struktur morfologis, atau struktur sintaksis. Sedangkan kajian eksternal bahasa membahas tentang hal atau faktor yang berada di luar bahasa dan ini berkaitan dengan pemakaian bahasa oleh penuturnya. Jika kajian internal menghasilkan perian bahasa tanpa ada kaitannya dengan masalah di luar bahasa, maka kajian eksternal menghasilkan rumusan atau kaidah yang berkenaan dengan pemakaian bahasa dalam masyarakat.
Lebih lanjut, penelitian atau kajian bahasa secara eksternal melibatkan dua disiplin ilmu atau lebih, sehingga wujudnya berupa ilmu antardisiplin. Contoh kajian eksternal bahasa, sosiolinguistik, psikolinguistik, antropolinguistik,dan neurolinguistik. Khususnya pada mata kuliah sosiolinguistik, dari sini dapat dipahami bahwa disiplin ilmu ini terdiri dari dua disiplin yaitu sosiologi danlinguistik. Gabungan dua disiplin tersebut memberikan sumbangan yang berbeda dari disiplin dasarnya, maka dapat dirumuskan bahwa sosiolinguistik merumuskan persoalan hubungan bahasa dengan kegiatan-kegiatan atau aspek-aspek kemasyarakatan. Senada dengan Fishman, “… study of who speak what language to whom and when.”
Di dalam Sosiolinguistik terdapat beberapa masalah penting yang merupakan masalah bagi peneliti, yaitu (1) identitas sosial dari penutur, (2) identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, (3) lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi, (4) analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial, (5) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi dan ragam linguistik, dan (7) penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik.
Pertemuan 2 : Komunikasi Bahasa
Hakikat bahasa : bahasa itu sebuah sistem lambang, berupa bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi. Ciri-ciri tersebut bahasa tersebut menjadi indikator hakikat bahasa adalah menurut pandangan linguistik umum (general linguistics), yang melihat bahasa sebagai bahasa. Sedangkan menurut pandangan sosiolinguistik bahasa itu juga mempunyai ciri sebagai alat interaksi sosial dan sebagai alat mengidentifikasikan diri.
Fungsi bahasa dilihat dari sudut penutur bahwa bahasa itu berfungsi personalatau pribadi. Maksudnya, si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya. Si penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan tuturannya. Dalam hal ini pihak si pendengar juga dapat menduga apakah si penutur sedih, marah, atau gembira. Sedangkan dari sudut pendengar bahwa bahasa berfungsidirektif, yaitu mengatur tingkah laku pendengar yakni tidak hanya membuat pendengar melakukan sesuatu tetapi juga melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang dimaui si pembicara.
Pertemuan 3 : Bahasa dan Masyarakat
Ferdinand de Saussure (1916) mengusung pendapat tentang bahasa yaitu adanya bagian-bagian bahasa, antara lain langage, langue, dan parole. Dalam bahasa Prancis, langage yaitu sistem lambang bunyi yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara verbal diantara sesamanya. Langue yaitu sistem lambang bunyi tertentu yang digunakan sekelompok anggota masyarakat tertentu. Sedangkan parole yaitu bentuk ujaran atau tuturan yang dilakukan oleh para anggota masyarakat di dalam kegiatan interaksi atau komunikasi sesamanya. Sebagai langage, bahasa bersifat universal dan ketika sebagailangue maka keuniversalannya terbatas pada suatu masyarakat tertentu.
Dalam berkomunikasi, adanya saling mengerti antara penduduk suatu wilayah tertentu dengan penduduk wilayah yang lain dikarenakan adanya kesamaan sistem dan subsistem (fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik) antara langue dan parole yang mereka gunakan. Ketidaksamaan sistem dan subsistem menyebabkan tidak terjadinya saling mengerti menandai adanya dua sistem langue yang berbeda.
Semua bahasa beserta ragam-ragamnya yang dimiliki atau dikuasai seorang penutur ini biasa disebut dengan istilah repertoir bahasa atau verbal repertoir dari orang itu. Verbal repertoir secara kepemilikan dibagi dua, yaitu yang dimiliki setiap penutur secara individual, dan yang merupakan milik masyarakat tutur secara keseluruhan.
  • Sosiolinguistik interaksional atau sosiolinguistik mikro adalah kajian yang mempelajari penggunaan bahasa sebagai sistem interaksi verbal antara para penuturnya di dalam masyarakat.
  • Sosiolinguistik korelasional atau sosiolinguistik makro adalah kajian mengenai penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan adanya ciri-ciri linguistik di dalam masyarakat.
Masyarakat tutur yakni suatu kelompok orang atau suatu masyarakat mempunyai verbal repertoir yang relatif sama serta mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan di dalam masyarakat itu. Dengan kata lain, masyarakat tutur adalah kelompok orang yang mempunyai norma yang sama dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa dan mereka merasa menggunakan tutur yang sama.
Bahasa dan tingkatan masyarakat tampak dalam bahasa-bahasa tertentu. Sebagai contoh, dalam tingkatan masyarakat dibagi dalam beberapa kelas, kelas-kelas ini memiliki bentuk bahasa tertentu, baik variasi, ragam atau dialek yang khas. Dalam istilah bahasa jawa dikenal undak usuk yaitu variasi bahasa yang penggunaannya didasarkan pada tingkat-tingkat sosial.
Bernstein menggagas Deficit Hypotesis. Teori ini membahas bahwa adan perbedaan kode bahasa yang digunakan golongan rendah dan golongan menengah. Anak-anak golongan menengah menggunakan variasi atau kode bahasa yang berbentuk lengkap (Elaborated Code) di rumah, sedangkan anak-anak golongan buruh rendah dibesarkan dalam lingkungan variasi bahasa yang terbatas, atau tidak termasuk lengkap (restricted code).
Pertemuan 4 : Peristiwa Tutur dan Tindak Tutur
Peristiwa tutur yaitu terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur , dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Dell Hyms (1972) mengemukakan bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yaitu (1) speaking and scene, (2) participants, (3) ends : purpose and goal, (4) act sequences, (5) key : tone or spirit of act, (6) instrumentalities, (7) norms of interaction and interpretation, and (8) genres. Pendapat ini sejalan dengan Fishman yaitu “who speak, what language, to whom, when, and what end.” Sedangkan peristiwa tutur pada dasarnya merupakan rangkaian dari sejumlah tindak tutur (speech act) yang terorganisasikan untuk mencapai suatu tujuan.
Austin membagi tindak tutur performatif menjadi (1) tindak tutur lokusi (suatu tindakan untuk menyatakan sesuatu, sebagai contoh “Ibu guru berkata kepada saya agar saya membantunya”), (2) tindak tutur ilokusi (suatu tindakan dalam menyatakan sesuatu, contoh “Ibu guru menyuruh saya agar segera berangkat”), dan (3) tindak perlokusi (suatu tindakan dengan mengatakan sesuatu, contoh “Mungkin ibu menderita penyakit jantung koroner” kata dokter).
Tindak tutur mencakup juga perihal deiksis, presuposisi, dan implikatur percakapan. Deiksis yaitu hubungan antara kata yang digunakan di dalam tindak tutur dengan referen kata itu yang tidak tetap atau dapat berubah dan berpindah. Sedangkan presuposisi yaitu makna atau informasi tambahan yang terdapat dalam ujaran yang digunakan secara tersirat. Kemudian implikatur percakapan yaitu adanya keterkaitan antara ujaran-ujaran yang diucapkan antara dua orang yang sedang bercakap-cakap, keterkaitan ini tidak secara literal melainkan tersirat.
Pertemuan 5 : Berbagai Variasi dan Jenis Bahasa
Keragaman atau kevariasian bahasa bukan hanya disebabkan oleh para penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga karena kegiatan interajsu sosial yang dilakukan sangat beragam. Keragaman ini akan semakin bertambah kalau bahasa tersebut digunakan oleh penutur yang sangat banyak, serta dalam wilayah yang sangat luas.
Hartman dan Stork (1972) membedakan variasi berdasarkankriteria latar belakang geografi dan sosial penutur, medium yang digunakan, dan pokok pembicaraan. Preston dan Shuy (1979) membagi variasi bahasa dalam penutur, interaksi, kode, dan realisasi. Halliday (1970, 1990) membedakan variasi bahasa berdasarkan pemakai yang disebut dialek dan pemakaian yang disebut register. Sedangkan Mc David (1969) membagi variasi bahasa ini berdasarkan dimensi regional, dimensi sosial, dan dimensi temporal.
Variasi bahasa dari segi penutur diantaranya :
  • idiolek, yaitu variasi bahasa yang bersifat perseorangan bahwa setiap orang memiliki idoleknya masing-masing.
  • dialek, yaitu variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, berada pada suatu tempat, silayah, atau area tertentu.
  • kronelek atau dialek temporal, yaitu variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu.
  • Sosiolek atau dialek sosial, yaitu bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial penuturnya. Sehubungan dengan variasi bahasa berkenaan dengan tingkat, golongan, status, dan kelas sosial para penuturnya, biasanya dikemukakan orang variasi bahasa yang disebut akrolek, basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon, argot, dan ken.
Variasi bahasa berkenaan dengan penggunaannya, pemakaiannya, atau fungsinya disebut fungsiolek, ragam, atau register. Variasi bahasa berdasarkan bidang pemakaian ini adalah menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang apa. Misal, bidang jurnalistik, militer, pertanian, dll.
Variasi bahasa dari segi keformalan menurut Martin Joos (1967) dalam bukunyaThe Five Clock membagi variasi bahasa atas lima macam gaya (style), yaitu gaya atau ragam beku (frozen), gaya atau ragam resmi (formal), gaya atau ragam usaha (konsultatif), gaya atau ragam santai (casual), dan gaya atau ragam akrab (intimate).
Variasi bahasa dari segi sarana dapat disebut adanya ragam lisan dan ragam tulis, atau juga ragam dalam berbahasa dengan menggunakan sarana atau alat tertentu, misal dalam telepon dan telegraf. Adanya ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis didasarkan pada kenyataan bahwa bahasa lisan dan bahasa tulis memiliki wujud struktur yang tidak sama.
Jenis bahasa dibagi dalam beberapa, diantaranya jenis bahasa berdasarkan sosiologis, sikap politik, tahap pemerolehan, dan lingua franca. Secara sosiologis menurut Stewart menggunakan jenis sikap dan perilaku terhadap bahasa. Terdapat empat dasar untuk menjeniskan bahasa-bahasa secara sosiologis yaitu standardisasi, otonomi, historisitas, dan vitalitas atau keterpakaian.
Jenis bahasa berdasarkan sikap politik atau sosial politik dapat dibedakan adanya bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa negara, dan bahasa persatuan. Kemudian jenis bahasa berdasarkan tahap pemerolehan dibedakan atas bahasa ibu, bahasa pertama (kedua, ketiga, dst), dan bahasa asing. Selanjutnya lingua franca yaitu sebuah sistem linguistik yang digunakan sebagai alat komunikasi sementara oleh para partisipan yang mempunyai bahasa ibu yang berbeda.
Pertemuan 6 : Bilingualisme dan Diglosia
Bilingualisme atau kedwibahasaan yakni berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara umum dalam sosiolinguistik, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
Diglosia berasal dari bahasa Prancis, diglossie. Diglosia digunakan untuk menyatakan suatu masyarakat yang di sana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu. Lebih rinci dapat dilihat bahwa
  1. diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, di mana selain terdapat sejumlah dialek-dialek utama atau ragam-ragam utama dari satu bahasa, terdapat juga sebuah ragam lain.
  2. dialek utama atau ragam utama berupa dialek standar atau sebuah standar regional.
  3. ragam lain yang bukan dialek-dialek utama itu memiliki ciri :- sudah sangat terkodifikasi
    - gramatikalnya lebih kompleks
    - merupakan wahana kesusasteraan tertulis yang sangat luas dan dihormati
    - dipelajari melalui pendidikan formal
    - digunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal
    - tidak digunakan untuk oleh masyarakat manapun percakapan sehari-hari.
Topik-topik dalam diglosia diantaranya fungsi, prestise, warisan sastra, pemerolehan, standardisasi, stabilitas, gramatika, leksikon, dan fonologi.
Pertemuan 7 : Alih Kode dan Campur Kode
Peristiwa pergantian bahasa yang digunakan dalam satu percakapan disebut alih kode. Appel mendefinisikan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Diantara penyebab alih kode itu disebutkan antara lain adalah pembicara atau penutur; pendengar atau lawan tutur; perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga; perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya; dan perubahan topik pembicaraan.
Campur kode dalam bahasa hanya ditemukan bila terdapat serpihan-serpihan. Menurut Fasold (1984) menawarkan kriteria gramatika untuk membedakan campur kode dari alih kode. Kalau seseorang menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa, dia telah melakukan campur kode. Tetapi apabila satu klausa jelas-jelas memiliki struktur gramatika satu bahasa, dan klausa berikutnya disusun menurut struktur gramatika bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode.

Thursday, May 26, 2011

sosiolinguistik: perubahan, pergeseran dan pemertahanan bahasa


Perubahan menyangkut mengenai bahasa sebagai kode, dimana sesuai dengan salah satu sifatnya yang dinamis, dan sebagi akibat persentuhan dengan kode-kode lain. Maka, bahasa itu berubah. Pergeseran bahasa menyangkut masalah mobitas penutur,sebagai akibat dari perpindahan penutur atau para penutur itu sendiri yang menyebabkan terjadinya pergeseran itu. Sedangkan pemertahanan bahasa lebih menyangkut masalah sikap atau penilaian terhadap suatu bahasa, untuk tetap menggunakan bahasa tersebut di tengah-tengah bahasa-bahasa lainnya.
  1. Perubahan Bahasa
Terjadinya sebuah perubahan bahasa itu sulit untuk diamati, sebab perubahan itu, sudah menjadi sifat hakiki bahasa, berlangsung dalam masa waktu yang relatif lama, sehingga tidak mungkin diobservasi oleh seseorang yang mempunyai waktu relatif terbatas. Bukti adanya perubahan bahasa itu pun terbatas pada bahasa-bahasa yang mempunyai tradisi tulis, dan mempunyai dokumen tertulis dari masa-masa yang sudah lama berlalu. perubahan bahasa lazim diartikan sebagi adanya perubahan kaidah, entah kaidahnya itu direvisi, menghilang, atau munculnya kaidah baru, dan semuanya itu dapat terjadi pada semua tataran linguistik, seperti fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, maupun leksikon.
  • Perubahan Fonologi
Dalam bahasa Inggris, kata (night) dulu dilafakan (nixt), kata (drought) dulu dilafalkan (druxt), dan kata (saw) dulu dilafalkan (saux). Ini menjadi bukti adanya perubahan, yaitu dengan menghilangkan huruf (x), yang tadinya ada menjadi tidak ada. Perubahan bunyi dalam sistem fonologi bahasa Indonesia pun dapat kita lihat. Bahasa Indonesia lama hanya mengenal empat pola silabel, yaitu V, VK, KV, dan KVK. Sedangkan hari ini ada tambahan pola lain yaitu, KKV, KKVK, VKK, KVKK, KKKV, KKVKK.
  • Perubahan Morfologi
  • Seperti halnya diulas dimuka bahwasanya perubahan bahasa menyangkut bahasa sebagai kode, dimana sesuai dengan sifatnya yang dinamis, dan sebagai akibat persentuhan dengan kode-kode lain, bahasa itu berubah.
  • Perubahan bahasa bias juga terjadi pada tataran morfologi, yakni dalam proses pembentukan kata.
  • Dalam bahasa Indonesia, misalkan, terjadi dalam penasalan prefiks me- dan pe-kaidahnya adalah:
    1. Apabila diimbuhkan dengan kata yang diawali dengan konsonan /l/, /r/ ,/w/ dan /y/, tidak terjadi penasalan.
    2. Apabila diimbuhkan dengan kata yang diawali dengan konsonan /b/, dan /p/, diberi nasal /m/.
    3. Apabila diimbuhkan dengan kata yang diawali dengan konsonan /d/, dan /t/, diberi nasal /n/.
    4. Apabila diimbuhkan dengan kata yang diawali dengan konsonan /s/, diberi nasal /ny/; Apabila diimbuhkan dengan kata yang diawali dengan konsonan /g/, /k/, /h/, dan semua huruf vocal diberi nasal /ng/.
  • Bahasa Indonesia menjadi sulit menerapkan kaidah ini manakala sudah menyerap bahasa asing yang bersuku (syllable) satu seperti kata bom, tik, dan sah yang menyebabkan timbulnya alomorf baru menge- dan penge-.
  • Para ahli bahasa tradisional tidak menerima alomorf tersebut dan mengkategorikannya sebagai perusak kaidah bahasa Indonesia.
  • Perubahan sintaksis.
  • Adanya perubahan gramatikal bahasa.
  • Dalam bahasa Indonesia, umpamanya, menurut kaidah sintaksis yang sudah berlaku bahwasanya kata kerja transitif harus selalu mempunyai objek. Contoh: sekretaris itu sedang mengetik diruangannya.
  • Kata kerja aktif transitif diatas menurut kaidah yang berlaku harus selalu diikuti oleh objek.
  • Perubahan Kosakata
Perubahan kosakata dapat berarti bertambahnya kosakata baru, hilangnya kosakata lama, dan berubahnya makna kata. Perubahan kosakata atau penambahan kosakata terjadi karena:
  1. Proses penyerapan atau peminjaman kosakata. Misalnya kata “algebra” dipinjam dari bahasa Arab dan diserap oleh bahasa Inggris.
  2. Proses penciptaan. Misalkan kata “frigidaire” berasal dari “frigid” plus “air”.
  3. Pemendekan dari kata atau frase yang panjang. Misalkan “prof” dari kata “professor”.
  4. Proses akronim. Misalkan kata ABRI dan UNESCO.
  5. Proses penggabungan utuh. Misalkan kata “afternoon” dan “matahari”.
  6. Proses penggabungan dengan penyingkatan. Misalkan “motel” dari kata “motor” plus “hotel”.
Bahasa juga mengalami pengurangan atau kehilangan kosakatanya. Terdapat beberapa kosakata yang dulu digunakan namun sekarang sudah tidak digunakan lagi. Misalnya kata “kempa” yang artinya “stempel/cap”, dan “tingkap” yang artinya “jendela”, dan masih banyak yang lainnya.
  • Perubahan semantik
Perubahan semantik yang umum adalah berupa perubahan pada makna butir-butir leksikal yang mungkin berubah total, meluas atau menyempit. Perubahan semantik dibagi menjadi:
  1. Berubah total
Makna kata benar-benar berubah seluruhnya. Misalnya kata “pena” dulu bermakna “bulu (angsa)”, namun sekarang menjadi “alat tulis”.
  1. Perluasan makna
Dulu kata tersebut hanya memiliki satu makna, namun sekarang mempunyai lebih dari satu makna. Misalnya kata “saudara”. Dulu hanya untuk orang yang lahir dari ibu yang sama, namun sekarang berarti juga “kamu”.
  1. Penyempitan makna
Pada mulanya suatu kata memiliki makna yang luas, namun sekarang menjadi menyempit. Misalnya kata “sarjana” yang dulu bermakna “orang yang pandai”, namun sekarang bermakna “orang yang lulus dari perguruan tinggi”.
Wardhaught membedakan adanya dua macam perubahan bahasa, yaitu perubahan internal dan perubahan eksternal. Perubahan internal terjadi dalam bahasa itu sendiri, seperti berubahnya sistem fonologi, morfologi dan sintaksis. Sedangkan perubahan eksternal terjadi karena adanya pengaruh dari luar, seperti adanya penyerapan atau peminjaman kosakata, penambahan fonem dari bahasa lain, dsb.
  1. Pergeseran Bahasa (Language Shift)
Pergeseran bahasa adalah sebuah peristiwa yang biasanya terjadi pada pelaku tutur yang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain dengan bahasa yang lain pula. Biasanya pergeseran bahasa terjadi di negara, daerah, atau wilayah yang memberi harapan kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik. Sehingga akhirnya mengundang para pendatang.
Bila seorang atau sekelompok pelaku tutur pindah ke tempat lain yang menggunakan bahasa lain dan bercampur dengan mereka, maka akan terjadilah pergeseran bahasa, dan gunanya jelas, yakni agar para pendatang dapat meyesuaikan diri mereka terhadap lingkungan baru, dan salah satu caranya ialah dengan mau tidak mau menanggalkan bahasa pertama mereka, dan mulai menggunakan bahasa kedua yakni bahasa setempat. Berikut pola yang diutarakan oleh Fishman berkenaan dengan peristiwa pergeseran bahasa yang terjadi pada para imigran di Amerika:
Monolingual => Bilingual Bawahan => Bilingual Setara => Bilingual Bawahan => Monolingual
Pada tahap pertama para imigran masih bermonolingual dengan bahasa ibunya, selanjutnya setelah beberapa lama, seperti yang di gambarkan di tahap kedua, mereka sudah menjadi bilingual bawahan (bahasa ibu dan bahasa Inggris) namun bahasa ibu tetap mendominasi. Setelah beberapa lama seperti yang digambarkan dalam tahap ketiga, bilingualisme mereka pun sudah setara (penggunaan bahasa Inggris mereka sudah sama baiknya dengan ketika mereka menggunakan bahasa ibu mereka). Selanjutnya seperti yang digambarkan dalam tahap keempat, mereka mulai sudah menjadi bilingual bawahan namun dengan penguasaan bahasa Inggris yang jauh lebih baik daripada penguasaan bahasa ibu dan akhirnya, seperti yang ada dalam kotak kelima, mereka pun menjadi monolingual bahasa inggris sedangkan bahasa ibu telah mereka tinggalkan.
Para linguist seperti Danie, Tallei, Yahya, Walker dan Ayatrohaedi dengan hasil penelitian yang telah mereka lakukan sebelumnya terhadap beberapa daerah mengutarakan umumnya beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran bahasa ialah, bahasa itu akan punah ketika tidak ada lagi penutur di dalamnya, punahnya bahasa juga dipengaruhi oleh arus mobilitas para penuturnya.
  1. Pemertahanan Bahasa
Sumarsono, seorang linguist yang memaparkan pemikirannya lewat penelitian yang sudah ia lakukan terhadap penduduk yang tinggal di desa Loloan kota Nagara, Bali. Terdapat sekitar tiga ribu penduduk muslim hidup di sana yang tidak menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa sehari-sehari mereka, melainkan menggunakan bahasa Melayu Loloan sebagai bahasa B1 mereka yang sudah berlangsung sejak abad ke-18, dan didapati beberapa fator yang penyebabnya antara lain:
  1. Wilayah pemukiman mereka terkonsentrasi pada satu tempat yang secara geografis terpisah dari wilayah pemukiman masyarakat Bali lainnya.
  2. Adanya toleransi dari masyarakat mayoritas Bali yang mau menggunakan bahasa Melayu Loloan ketika berkomunikasi dengan kelompok masyarakat minoritas ini.
  3. Anggota masyarakat Loloan memiliki sikap keislaman yang tidak akomodatif terhadap masyarakat, budaya dan bahasa Bali.
  4. Adanya loyalitas tinggi dari masyarakat Loloan terhadap bahasa Mealayu Loloan sebagai konsekuensi kedudukan atau status bahasa ini yang menjadi lambang identitas diri bagi masyarakat Loloan yang bragama Islam.
  5. Adanya kesinambungan pengalihan bahasa Loloan dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya.
Namun demikian, pemertahanan masyarakat Loloan terhadap bahasa Bali tidak sekuat dengan pertahanan mereka terhadap bahasa Indonesia karena memang banyak ranah sosial yang tadinya menggunakan bahasa Loloan atau bahasa Bali tapi kini mulai menggunakan bahasa Indonesia seperti ranah keluarga, pemerintahan, kekariban, keagamaan, pendidikan, dan perdagangan. Sehingga dapat disimpulkan:
  1. Penggunaan bahasa B2 milik mayoritas oleh minoritas bilingual tidak selalu mengakibatkan pergeseran atau punahnya B1 milik kelompok minoritas.
  2. Penguasaan B2 yang dalam hal ini adalah bahasa Indonesia oleh kelompok minoritas juga tidak memunahkan B1 namun hanya menggeser beberapa peran B2 lama (bahasa Bali) dan beberapa peran B1.

materi sosiolinguistik: rangkuman semua materi


Pertemuan 1 : Pendahuluan
Bahasa merupakan alat komunikasi dan alat interaksi yang Alloh ta’ala karuniakan khusus untuk makhluk-Nya yang paling sempurna, yaitu manusia. Bahasa dapat dikaji secara internal maupun eksternal. Kajian internal bahasa meliputi kajian struktur diantaranya struktur fonologis, struktur morfologis, atau struktur sintaksis. Sedangkan kajian eksternal bahasa membahas tentang hal atau faktor yang berada di luar bahasa dan ini berkaitan dengan pemakaian bahasa oleh penuturnya. Jika kajian internal menghasilkan perian bahasa tanpa ada kaitannya dengan masalah di luar bahasa, maka kajian eksternal menghasilkan rumusan atau kaidah yang berkenaan dengan pemakaian bahasa dalam masyarakat.
Lebih lanjut, penelitian atau kajian bahasa secara eksternal melibatkan dua disiplin ilmu atau lebih, sehingga wujudnya berupa ilmu antardisiplin. Contoh kajian eksternal bahasa, sosiolinguistik, psikolinguistik, antropolinguistik,dan neurolinguistik. Khususnya pada mata kuliah sosiolinguistik, dari sini dapat dipahami bahwa disiplin ilmu ini terdiri dari dua disiplin yaitu sosiologi danlinguistik. Gabungan dua disiplin tersebut memberikan sumbangan yang berbeda dari disiplin dasarnya, maka dapat dirumuskan bahwa sosiolinguistik merumuskan persoalan hubungan bahasa dengan kegiatan-kegiatan atau aspek-aspek kemasyarakatan. Senada dengan Fishman, “… study of who speak what language to whom and when.”
Di dalam Sosiolinguistik terdapat beberapa masalah penting yang merupakan masalah bagi peneliti, yaitu (1) identitas sosial dari penutur, (2) identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, (3) lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi, (4) analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial, (5) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi dan ragam linguistik, dan (7) penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik.
Pertemuan 2 : Komunikasi Bahasa
Hakikat bahasa : bahasa itu sebuah sistem lambang, berupa bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi. Ciri-ciri tersebut bahasa tersebut menjadi indikator hakikat bahasa adalah menurut pandangan linguistik umum (general linguistics), yang melihat bahasa sebagai bahasa. Sedangkan menurut pandangan sosiolinguistik bahasa itu juga mempunyai ciri sebagai alat interaksi sosial dan sebagai alat mengidentifikasikan diri.
Fungsi bahasa dilihat dari sudut penutur bahwa bahasa itu berfungsi personalatau pribadi. Maksudnya, si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya. Si penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan tuturannya. Dalam hal ini pihak si pendengar juga dapat menduga apakah si penutur sedih, marah, atau gembira. Sedangkan dari sudut pendengar bahwa bahasa berfungsidirektif, yaitu mengatur tingkah laku pendengar yakni tidak hanya membuat pendengar melakukan sesuatu tetapi juga melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang dimaui si pembicara.
Pertemuan 3 : Bahasa dan Masyarakat
Ferdinand de Saussure (1916) mengusung pendapat tentang bahasa yaitu adanya bagian-bagian bahasa, antara lain langage, langue, dan parole. Dalam bahasa Prancis, langage yaitu sistem lambang bunyi yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara verbal diantara sesamanya. Langue yaitu sistem lambang bunyi tertentu yang digunakan sekelompok anggota masyarakat tertentu. Sedangkan parole yaitu bentuk ujaran atau tuturan yang dilakukan oleh para anggota masyarakat di dalam kegiatan interaksi atau komunikasi sesamanya. Sebagai langage, bahasa bersifat universal dan ketika sebagailangue maka keuniversalannya terbatas pada suatu masyarakat tertentu.
Dalam berkomunikasi, adanya saling mengerti antara penduduk suatu wilayah tertentu dengan penduduk wilayah yang lain dikarenakan adanya kesamaan sistem dan subsistem (fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik) antara langue dan parole yang mereka gunakan. Ketidaksamaan sistem dan subsistem menyebabkan tidak terjadinya saling mengerti menandai adanya dua sistem langue yang berbeda.
Semua bahasa beserta ragam-ragamnya yang dimiliki atau dikuasai seorang penutur ini biasa disebut dengan istilah repertoir bahasa atau verbal repertoir dari orang itu. Verbal repertoir secara kepemilikan dibagi dua, yaitu yang dimiliki setiap penutur secara individual, dan yang merupakan milik masyarakat tutur secara keseluruhan.
  • Sosiolinguistik interaksional atau sosiolinguistik mikro adalah kajian yang mempelajari penggunaan bahasa sebagai sistem interaksi verbal antara para penuturnya di dalam masyarakat.
  • Sosiolinguistik korelasional atau sosiolinguistik makro adalah kajian mengenai penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan adanya ciri-ciri linguistik di dalam masyarakat.
Masyarakat tutur yakni suatu kelompok orang atau suatu masyarakat mempunyai verbal repertoir yang relatif sama serta mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan di dalam masyarakat itu. Dengan kata lain, masyarakat tutur adalah kelompok orang yang mempunyai norma yang sama dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa dan mereka merasa menggunakan tutur yang sama.
Bahasa dan tingkatan masyarakat tampak dalam bahasa-bahasa tertentu. Sebagai contoh, dalam tingkatan masyarakat dibagi dalam beberapa kelas, kelas-kelas ini memiliki bentuk bahasa tertentu, baik variasi, ragam atau dialek yang khas. Dalam istilah bahasa jawa dikenal undak usuk yaitu variasi bahasa yang penggunaannya didasarkan pada tingkat-tingkat sosial.
Bernstein menggagas Deficit Hypotesis. Teori ini membahas bahwa adan perbedaan kode bahasa yang digunakan golongan rendah dan golongan menengah. Anak-anak golongan menengah menggunakan variasi atau kode bahasa yang berbentuk lengkap (Elaborated Code) di rumah, sedangkan anak-anak golongan buruh rendah dibesarkan dalam lingkungan variasi bahasa yang terbatas, atau tidak termasuk lengkap (restricted code).
Pertemuan 4 : Peristiwa Tutur dan Tindak Tutur
Peristiwa tutur yaitu terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur , dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Dell Hyms (1972) mengemukakan bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yaitu (1) speaking and scene, (2) participants, (3) ends : purpose and goal, (4) act sequences, (5) key : tone or spirit of act, (6) instrumentalities, (7) norms of interaction and interpretation, and (8) genres. Pendapat ini sejalan dengan Fishman yaitu “who speak, what language, to whom, when, and what end.” Sedangkan peristiwa tutur pada dasarnya merupakan rangkaian dari sejumlah tindak tutur (speech act) yang terorganisasikan untuk mencapai suatu tujuan.
Austin membagi tindak tutur performatif menjadi (1) tindak tutur lokusi (suatu tindakan untuk menyatakan sesuatu, sebagai contoh “Ibu guru berkata kepada saya agar saya membantunya”), (2) tindak tutur ilokusi (suatu tindakan dalam menyatakan sesuatu, contoh “Ibu guru menyuruh saya agar segera berangkat”), dan (3) tindak perlokusi (suatu tindakan dengan mengatakan sesuatu, contoh “Mungkin ibu menderita penyakit jantung koroner” kata dokter).
Tindak tutur mencakup juga perihal deiksis, presuposisi, dan implikatur percakapan. Deiksis yaitu hubungan antara kata yang digunakan di dalam tindak tutur dengan referen kata itu yang tidak tetap atau dapat berubah dan berpindah. Sedangkan presuposisi yaitu makna atau informasi tambahan yang terdapat dalam ujaran yang digunakan secara tersirat. Kemudian implikatur percakapan yaitu adanya keterkaitan antara ujaran-ujaran yang diucapkan antara dua orang yang sedang bercakap-cakap, keterkaitan ini tidak secara literal melainkan tersirat.
Pertemuan 5 : Berbagai Variasi dan Jenis Bahasa
Keragaman atau kevariasian bahasa bukan hanya disebabkan oleh para penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga karena kegiatan interajsu sosial yang dilakukan sangat beragam. Keragaman ini akan semakin bertambah kalau bahasa tersebut digunakan oleh penutur yang sangat banyak, serta dalam wilayah yang sangat luas.
Hartman dan Stork (1972) membedakan variasi berdasarkankriteria latar belakang geografi dan sosial penutur, medium yang digunakan, dan pokok pembicaraan. Preston dan Shuy (1979) membagi variasi bahasa dalam penutur, interaksi, kode, dan realisasi. Halliday (1970, 1990) membedakan variasi bahasa berdasarkan pemakai yang disebut dialek dan pemakaian yang disebut register. Sedangkan Mc David (1969) membagi variasi bahasa ini berdasarkan dimensi regional, dimensi sosial, dan dimensi temporal.
Variasi bahasa dari segi penutur diantaranya :
  • idiolek, yaitu variasi bahasa yang bersifat perseorangan bahwa setiap orang memiliki idoleknya masing-masing.
  • dialek, yaitu variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, berada pada suatu tempat, silayah, atau area tertentu.
  • kronelek atau dialek temporal, yaitu variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu.
  • Sosiolek atau dialek sosial, yaitu bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial penuturnya. Sehubungan dengan variasi bahasa berkenaan dengan tingkat, golongan, status, dan kelas sosial para penuturnya, biasanya dikemukakan orang variasi bahasa yang disebut akrolek, basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon, argot, dan ken.
Variasi bahasa berkenaan dengan penggunaannya, pemakaiannya, atau fungsinya disebut fungsiolek, ragam, atau register. Variasi bahasa berdasarkan bidang pemakaian ini adalah menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang apa. Misal, bidang jurnalistik, militer, pertanian, dll.
Variasi bahasa dari segi keformalan menurut Martin Joos (1967) dalam bukunyaThe Five Clock membagi variasi bahasa atas lima macam gaya (style), yaitu gaya atau ragam beku (frozen), gaya atau ragam resmi (formal), gaya atau ragam usaha (konsultatif), gaya atau ragam santai (casual), dan gaya atau ragam akrab (intimate).
Variasi bahasa dari segi sarana dapat disebut adanya ragam lisan dan ragam tulis, atau juga ragam dalam berbahasa dengan menggunakan sarana atau alat tertentu, misal dalam telepon dan telegraf. Adanya ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis didasarkan pada kenyataan bahwa bahasa lisan dan bahasa tulis memiliki wujud struktur yang tidak sama.
Jenis bahasa dibagi dalam beberapa, diantaranya jenis bahasa berdasarkan sosiologis, sikap politik, tahap pemerolehan, dan lingua franca. Secara sosiologis menurut Stewart menggunakan jenis sikap dan perilaku terhadap bahasa. Terdapat empat dasar untuk menjeniskan bahasa-bahasa secara sosiologis yaitu standardisasi, otonomi, historisitas, dan vitalitas atau keterpakaian.
Jenis bahasa berdasarkan sikap politik atau sosial politik dapat dibedakan adanya bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa negara, dan bahasa persatuan. Kemudian jenis bahasa berdasarkan tahap pemerolehan dibedakan atas bahasa ibu, bahasa pertama (kedua, ketiga, dst), dan bahasa asing. Selanjutnya lingua franca yaitu sebuah sistem linguistik yang digunakan sebagai alat komunikasi sementara oleh para partisipan yang mempunyai bahasa ibu yang berbeda.
Pertemuan 6 : Bilingualisme dan Diglosia
Bilingualisme atau kedwibahasaan yakni berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara umum dalam sosiolinguistik, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
Diglosia berasal dari bahasa Prancis, diglossie. Diglosia digunakan untuk menyatakan suatu masyarakat yang di sana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu. Lebih rinci dapat dilihat bahwa
  1. diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, di mana selain terdapat sejumlah dialek-dialek utama atau ragam-ragam utama dari satu bahasa, terdapat juga sebuah ragam lain.
  2. dialek utama atau ragam utama berupa dialek standar atau sebuah standar regional.
  3. ragam lain yang bukan dialek-dialek utama itu memiliki ciri :- sudah sangat terkodifikasi
    - gramatikalnya lebih kompleks
    - merupakan wahana kesusasteraan tertulis yang sangat luas dan dihormati
    - dipelajari melalui pendidikan formal
    - digunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal
    - tidak digunakan untuk oleh masyarakat manapun percakapan sehari-hari.
Topik-topik dalam diglosia diantaranya fungsi, prestise, warisan sastra, pemerolehan, standardisasi, stabilitas, gramatika, leksikon, dan fonologi.
Pertemuan 7 : Alih Kode dan Campur Kode
Peristiwa pergantian bahasa yang digunakan dalam satu percakapan disebut alih kode. Appel mendefinisikan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Diantara penyebab alih kode itu disebutkan antara lain adalah pembicara atau penutur; pendengar atau lawan tutur; perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga; perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya; dan perubahan topik pembicaraan.
Campur kode dalam bahasa hanya ditemukan bila terdapat serpihan-serpihan. Menurut Fasold (1984) menawarkan kriteria gramatika untuk membedakan campur kode dari alih kode. Kalau seseorang menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa, dia telah melakukan campur kode. Tetapi apabila satu klausa jelas-jelas memiliki struktur gramatika satu bahasa, dan klausa berikutnya disusun menurut struktur gramatika bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode.